DESA WISATA WAJO UNIK
adalah salah satu adat yang berada di sebelah Selatan Kabupaten dengan jarak tempuh dari kota Mbay, ibukota Kabupaten kurang lebih 60 km.
Untuk dapat mengunjungi adat ini, para dapat menempuhnya dengan menggunakan mobil atau motor melewati keloknya jalan menuju Maunori di pesisir pulau .
Sedangkan perjalanan dari kota Mbay, harus mendaki naik menuju pertigaan Aegela dilanjutkan ke arah barat hingga pertigaan pasar . Setiba di pertigaan pasar , akan berbelok ke kiri mengikuti arah jalan menuju Maunori.
Perjalanan yang berkelok – kelok dengan kondisi jalan yang berlubang namun tidak menyurutkan semangat menuju ke lokasi budaya ini karena suguhan alam dengan nuansa hawa pegunungan yang menyegarkan sangat terasa sepanjang jalan.
Gunung yang menjulang di sebelah kiri dan kanan pun menjadi pemandangan menarik sehingga akan berhenti sejenak di beberapa titik yang menjadi pemandangan yang menawan.
Ketika melewati Kotakeo setelah pertigaan rumah bapak mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Bapak Jacob Nuwa Wea) menuju adat , akan berkendara melewati punggung gunung sehingga membutuhkan konsentrasi karena di sebelah kiri dan kanan ada jurang yang cukup dalam. Meski demikian tetap tersaji hingga tiba di lokasi destinasi.
Masuk melalui pintu kampung Pauijo sebelah kanan akhirnya, pun tiba di yang letaknya berada di puncak dengan diapiti gunung – gunung yang membentang dari utara hingga ke .
Memasuki gerbang adat ini, suasana sakral mulai terasa dengan kekuatan mistik yang mengelilingi adat ini. Setiba di dalam adat , akan diarahkan dengan ramah oleh masyarakat lokal menuju ke rumah salah satu kepala suku untuk berdiskusi terkait maksud kedatangan ke sana dan setelah itu akan diantar menuju ke rumah Kepala Suku Besar sebelum memasuki Sa’o Pile (rumah pemali/).
Masuk ke dalam area Sa’o Pile, wajib mengenakan pakaian adat setempat berupa sarung tenun adat dan selendang tenun adat dengan lokal.
RITUAL ADAT NGAGHA MERE DI DESA WISATA WAJO
Ritual adat Ngagha Mere merupakan ritual adat tahunan yang wajib di laksanakan oleh enam suku di kampung adat wajo yaitu: Suku Embu Lau, Suku Embu Mbani, Suku Koto Bhisu Mena, Suku Koto Bhisu Rade, Suku Jemu Dedhe Wawo, dan Suku Jemu Dede Wena.
Dalam pelaksanaan ritual adat Ngagha Mere, setiap Masyarakat Adat memberikan hasil kebun sebagai persembahan terbaik kepada para Leluhurnya. Mereka memberikan persembahannya dengan menari tarian adat Pute Wutu, diiringi syair lagu Ndada Ta dan musik tradisional Ndoto.
Musik Ndoto, menurut kepercayaan Masyarakat Adat , sangat berperan penting dalam melakukan komunikasi dengan Leluhur sehingga saat musik ini dimainkan dalam upacara adat, para Leluhur akan mendengar dan mengetahui kehadiran anak cucunya untuk memberikan persembahan mereka.
Menu utama yang disajikan dalam pelaksanaan ritual adat ini adalah Uwi yang dipersembahkan dalam ritual Bhei Uwi yang persiapannya telah dilakukan selama setahun.
SIMBOL ADAT SAKRAL ULAR NAGA
Pada saat pelaksanaan Ngagha Mere, juga dapat menyaksikan benda – benda sejarah seperti Peo, Nambe, Ia, Ana Deo dan simbol – simbol adat yang sakral lainnya yang ada di area Sa’o Pile.
Dapat juga disaksikan berbagai ornament adat dan berbagai ukiran sejarah budaya (vernacular), gendang, patung manusia, patung kuda, tungku, dan berbagai ukiran pada tiang kayu penyangga yang kesemuanya memiliki arti tersendiri sesuai dengan kondisi kehidupan Masyarakat Adat .
Menurut kepercayaan Masyarakat Adat , Sa’o Pile dan Peo harus diletakkan pada kedudukan yang lebih tinggi sesuai falsafah udu mbe’i kedi, ai ndeli mesi yang berarti kepala bersandar di gunung dan kaki menopang di laut. Falsafah ini menggambarkan seekor ular naga raksasa yang menjadi pelindung dengan kepala naga berada di gunung, kaki menopang di dan ekornya berada di laut.
Hal ini diartikan dengan satu kesatuan wilayah adat Masyarakat Adat dengan udu ekonya dari gunung hingga ke laut.
pada tahun 2012, mendapat nominasi sebagai Berbasis Wisata dari Dinas Pariwisata Kabupaten . Dan tahun berikutnya 2013, adat terlibat langsung dalam Festival Musik Tradisional provinsi Nusa Tenggara Timur dan mendapat juara I dalam festival tersebut. Alat musik yang dimainkan dalam festival ini adalah alat musik Ndoto yang merupakan alat musik tradisional khas Masyarakat Adat yang terbuat dari bambu. Di tahun 2015, kembali adat mengikuti festival musik tradisional dalam event berskala nasional di Jakarta.